Zakat Profesi
TANYA:
Assalamualaikum
wr. Wb
Ustadz Zuhdi
yang dirahmati Allah, apakah seseorang yang mendapatkan penghasilan dari profesi
sebagai kontraktor yang membangun perumahan, gedung-gedung perkantoran, dan
profesi-profesi lainnya itu perlu dizakati ?
Jazakumullah
Khairan Kasiran !
JAWAB:
Wa’alaikumussalam
wr wb!
Dalam
kajian zakat, ada yang disebut dengan zakat profesi. Zakat profesi sebenarnya
merupakan istilah baru dalam kajian fiqih Islam. Zakat profesi adalah zakat
yang dikeluarkan dari penghasilan profesi bila telah mencapai nishab. Adapun
yang dimaksud dengan profesi dalam hal ini terbagi menjadi dua macam yaitu: (1) Profesi yang penghasilannya diperoleh dengan cara usaha
sendiri seperti kontraktor, dokter, pengacara, arsitek, penjahit dan lain
sebagainya, dan (2) Profesi yang penghasilannya diperoleh dengan cara
bekerja pada orang lain sehingga ia memperoleh gaji/imbalan, seperti pegawai
negeri, karyawan BUMN, dan lain sebagainya.
Ulama’
berbeda pendapat mengenai hukum zakat penghasilan atau profesi. Mayoritas ulama
salaf (klasik) tidak mewajibkannya, namun para ulama kontemporer seperti Yusuf
Al-Qaradhawi dan Wahbah Al-Zuhaili, menegaskan bahwa zakat penghasilan atau
zakat profesi itu hukumnya wajib.
Hal
ini mengacu pada pendapat sebagian sahabat yaitu Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan
Mu’awiyah, serta sebagian tabiin yaitu Al-Zuhri, Al-Hasan Al-Bashri,
Makhul dan Umar bin Abdul Aziz. Adapun kewajiban zakatnya adalah 2,5%,
berdasarkan keumuman nas yang mewajibkan zakat uang, baik sudah mencapai satu
haul atau ketika menerimanya. Jika sudah dikeluarkan zakatnya pada
saat menerimanya, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat lagi pada akhir tahun.
Dengan
demikian ada kesamaan antara pegawai yang menerima gaji secara rutin dengan
petani yang wajib mengeluarkan zakat pada saat panen, tanpa ada perhitungan
haul. Menurut al-Qardhawi nishab zakat profesi senilai 85 gram emas
dan jumlah zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5%.
Adapun dalil tentang adanya zakat profesi
adalah firman Allah Swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا
مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا
تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا
فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu, dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan,
padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya, melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya.
Ketahuilah bahwa Allah maha kaya lagi maha terpuji” (QS.Al-Baqarah/2:
267).
Dan
firman Allah tentang peringatan terhadap orang yang menumpuk emas dan perak dan
tidak membelanjakannya di jalan Allah. Allah berfirman :“…dan orang-orang
yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (QS.
At Taubah : 34);
Selain
itu juga berdasarkan prinsip keadilan dalam Islam. Sungguh dirasakan tidak adil
dan bertentangan dengan prinsip keadilan Islam bila petani dan pedagang kecil
yang penghasilannya kecil diwajibkan membayar zakat, sementara seorang
eksekutif, kontraktor, konsultan, dan profesional lain yang penghasilannya
dapat mencapai puluhan juta tidak diwajibkan membayar zakat.
Adapun
nishab zakat penghasilan dan profesi adalah 85 gram emas, sama dengan nishab
zakat uang. Demikian pula dengan besarnya zakat yang dikeluarkan adalah 1/40
atau (2,5%) sesuai dengan keumuman nash yang mewajibkan zakat uang sebesar itu.
Timbul
persoalan tentang orang-orang yang memiliki penghasilan dari profesi. Mereka
menerima pendapatan dari profesinya tersebut tidak sama, ada yang setiap hari
seperti dokter, atau pada saat-saat tertentu seperti seorang advokat,
kontraktor dan penjahit, atau secara regular mingguan atau bulanan seperti
kebanyakan para pegawai.
Bila
nishab di atas ditetapkan untuk setiap kali upah atau gaji yang diterima, maka
banyak golongan profesi yang menerima gaji beberapa kali pembayaran dan jarang
sekali cukup nisab dari kewajiban zakat. Sedangkan bila seluruh gaji itu dalam
satu waktu tertentu dikumpulkan, maka akan cukup senisab bahkan lebih.
Sementara waktu penyatuan dari penghasilan itu yang dimungkinkan dan dibenarkan
oleh syari’at adalah satu tahun, di mana zakat dibayarkan setahun sekali. Fakta
juga menunjukkan bahwa pemerintah mengatur gaji pegawainya berdasarkan ukuran
tahun, meskipun dibayarkan per bulan karena kebutuhan pegawai yang mendesak.
Penghasilan
yang diukur nishabnya adalah penghasilan bersih, yaitu penghasilan yang telah
dikurangi kebutuhan biaya hidup terendah atau kebutuhan pokok seseorang berikut
tanggungannya dan juga setelah dikurangi untuk pembayaran hutang (hutang bukan
karena kredit barang mewah tapi karena untuk memenuhi kebutuhan pokok/primer
seperti bayar kredit rumah BTN, hutang nunggak bayaran sekolah anak, dan yang
sejenis).
Bila
penghasilan bersih itu dikumpulkan dalam setahun atau kurang dalam setahun dan
telah mencapai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya 2,5 %. Bila seseorang
telah mengeluarkan zakatnya langsung ketika menerima penghasilan (karena yakin
dalam waktu setahun penghasilan bersihnya akan lebih dari senishab), maka tidak
wajib lagi bagi dia mengeluarkannya di akhir tahun (karena akan berakibat
double zakat).
Mengenai
cara praktis menghitung zakat profesi adalah sebagaimana contoh berikut ini:
A.Penerimaan kotor selama setahun :
Rp.180.000.000;
B.Kebutuhan pokok setahun : Rp.60.000.000;
C.Hutang-hutang yang dibayar dalam setahun : Rp.15.000.000;
B.Kebutuhan pokok setahun : Rp.60.000.000;
C.Hutang-hutang yang dibayar dalam setahun : Rp.15.000.000;
D.Penghasilan bersih setahun : A-(B+C) atau
Rp180.000.000-(60.000.000+15.000.000=75.000.000) = Rp. 105.000.000;
Dari penghasilan bersih tersebut (Rp. 105.000.000;)
karena dipandang sudah memenuhi jumlah
nishab (senilai 85 gram emas @ Rp. 490.000= Rp.41.650.000), maka
selanjutnya dikeluarkan zakatnya sebesar
2,5 %. Dengan demikian jumlah zakat yang harus dikeluarkan adalah 2,5 % atau 1/40 x Rp. 105.000.000; = Rp.2.625.000;
Jika penghasilan bersih tidak mencapai jumlah nishab,
maka tidak terkena wajib zakat. Sungguhpun demikian masih diharuskan
mengeluarkan infak, sedekah dan pemberian lainnya yang bersifat sunnah. Ingat
firman Allah: “Apapun yang kamu infakkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dia
(Allah) adalah sebaik-baik pemberi rizki (QS. Saba’ 39).
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa zakat yang dikeluarkan
itu dari hasil penerimaan kotor (tanpa dikurangi kebutuhan pokok). Wallahu
A’lam !
Komentar
Posting Komentar