Dimensi Sosial Idul Adha

Islam sebagai agama yang sempurna tidak hanya berlandaskan dimensi vertikal yang mewujud pada hubungan personal manusia dengan Allah (hablunminallah),tetapi juga mencakup dimensi horisontal yang tercermin pada relasi social dengan semua mahluk hidup (hablumminannas). Dalam Islam, kualitas kesalehan seseorang tidak cukup diukur dari ibadahnya semata karena kesalehan yang sempurna juga tercermin pada kemampuannya mewujudkan dalam hubungan social dengan lingkungan dan masyarakat. Artinya, kesalehan individual tidak akan bermakna bila tidak disertai dengan kesalehan sosial.
Rasulullah sering menegaskan pentingnya kedua dimensi itu menyatu dalam diri umat beriman. “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangga, tamu, dan hendaklah berkata yang baik-baik atau kalau tidak bisa, hendaklah diam” (HR. MutafaqAlayh). Dalam sebuah hadits Qudsi juga disebutkan bahwa “Demi Allah, demi Allah, tidaklah beriman… orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kelakuan buruknya… yakni kejahatan dan sikapnya yang menyakitkan” (HR. MutafaqAlayh). Hadist tersebut menunjukkan bahwa kesalehan sosial sesungguhnya merupakan aktualisasi dari keimanan seseorang dalam kehidupan nyata.
Pemahaman tentang wujud iman dalam bentuk kesalehan sosial salah satunya bisa dilihat pada ritual iduladha yang setiap tahun kita laksanakan. Idul Adha merupakan ekspresi keimanan berupa kepatuhan untuk melaksanaan perintah Allah berupa penyembelihan hewan qurban, sekaligus merupakan wujud kesalehan sosial karena daging qurban hasil sembelihan akan dibagikan kepada mereka yang membutuhkan. Allah berfirman, “Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. (Q.S. al-Hajj: 36)
Artinya, kepatuhan untuk memenuhi perintah Allah juga harus disertai dengan ekspresi perhatian dan kepedulian pada sesama. Dengan disyari’atkan qurban, kaum muslimin dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan  terhadap masalah-masalah sosial dan mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap sesama. Islam mengajarkan umatnya untuk saling membantu dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial di masyarakat. Islam sebagai rahmatanlilalamin benar-benar dapat terwujud melalui perilaku umatnya.
Dengan demikian hariraya Idul Adha seharusnya bisa menjadi momentum untuk membangkitkan kembali komitmen kepatuhan kepada Allah sekaligus menebarkan kepedulian, kasih sayang dan kebersamaan. Fakta menunjukkan, saat ini komitmen itu sudah mulai luntur di kalangan umat. Kepatuhan individual memang mungkin cenderung meningkat namun tidak diimbangi dengan munculnya jiwa peduli pada sesama. Mewabahnya perilaku korupsi yang dilakukan para pejabat ‘beriman’ menjadi bukti makin tipisnya kepedulian pada umat. Mereka tekun melakukan shalat, puasa bahkan sudah berhaji, namun ternyata mereka juga ‘tekun’ melakukan tindak korupsi dengan memakan hakrakyat. Artinya, kepatuhan dan keimanan mereka sama sekali tidak terwujud dalam kehidupan nyata.
Ketika rakyat miskin masih banyak menghuni negeri ini maka sesungguhnya nilai-nilai kesalehan sosial dari Idul Adha bisa menjadi inspirasi untuk lebih peduli dan membantu mereka yang  miskin. Kepedulian tidak hanya diwujudkan dalam bentuk membantu mereka untuk bisa makan tetapi akan lebih bermakna bila disertai dengan kesungguhan untuk memberdayakan mereka. Beri mereka peluang dan kesempatan untuk berdaya agar mereka bisa hidup sejahtera dan suatu ketika nanti mereka bisa menjadi bagian dari umat yang berqurban.
Masih banyak saudara kita yang menanti kepedulian dan perhatian kita. Seharusnya,  Idul Adha yang hadir setiap tahun bisa menjadi roh yang menginspirasi penyelesaian berbagai pesoalan sosial umat di negeri ini. 

Komentar

Postingan Populer