Meneladani Kisah Keluarga Nabi Ibrahim AS
Bulan
Dzulhijjah merupakan bulan istimewa bagi umat Islam. Di dalamnya, umat Islam
melaksanakan ibadah haji, kurban, dan mendirikan shalat Idul Adha seraya
mengumandangkan takbir, tahmid dan tahlil.
Menariknya,
rangkaian ibadah itu erat kaitannya dengan kisah perjalanan hidup Nabi Ibrahim
AS. Jika diperhatikan, keluarga Nabi Ibrahim merupakan salah satu profil
keluarga ideal yang dikisahkan dalam Alquran.
Banyak
pelajaran yang dapat dipetik dari kisah perjalanan hidup keluarga Nabi Ibrahim
AS. Di antaranya, pertama: ketelanan Nabi Ibrahim sebagai suami dan ayah.
Dalam keluaganya, Nabi Ibrahim adalah kepala keluarga. Ia membina keluarganya
sesuai dengan tuntunan Allah.
Sebagai
suami, Ibrahim berlaku adil kepada istrinya. Kedua istrinya, Sarah dan Hajar,
taat kepada Nabi Ibrahim. Ketaatan istri tersebut tentu tidak terlepas dari
kemuliaan pribadi dan ketaatan Nabi Ibrahim AS kepada Allah SWT.
Hal
ini mengajarkan kepada kita bahwa jika ingin ditaati oleh istri, seorang suami
harus mampu menampilkan dirinya sebagai kepala keluarga yang bertanggung
jawab, berkepribadian luhur, cinta pada keluarga, dan berperilaku sesuai dengan
tuntunan agama.
Akan
sulit bagi seorang suami yang menginginkan istrinya taat dan shalehah,
sementara suami sendiri memiliki akhlak yang buruk. Akan sia-sia jika suami
lebih menginginkan istrinya berubah ke arah yang lebih baik, sementara pribadi
sang suami tersebut tidak pula mampu mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang
ia lakukan. Sejatinya, ubahlah diri sendiri, maka Allah akan mempermudah
jalannya untuk mengubah orang-orang yang dipimpinnya, termasuk istri dan
anak-anaknya.
Sebagai
seorang ayah, Nabi Ibrahim AS tampil sebagai pendidik yang penuh kasih sayang,
demokratis, dan menjadi teladan. Perhatikanlah dialog Nabi Ibrahim ketika
menjalankan perintah Allah untuk menyembelih Ismail.
Maka
tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar” (Qs. ash-Shaffat/37: 102).
Dalam
dialog yang dikemukakan Alquran di atas, terlihat Nabi Ibrahim sangat
menyayangi dan anaknya dan bersifat demokratis. Sifat kasih sayang itu
tergambar dari pilihan kata yang digunakannya ketika menyeru buah hatinya: ya
bunayya (hai anakku). Penggunakan kata ya bunayya merupakan panggilan penuh
kasih sayang kepada anaknya.
Kemudian,
Ibrahim meminta pendapat kepada anaknya ketika diperintah untuk menyembelih
sang anak tersebut. Tampak jiwa demokratis seorang ayah yang sebelumnya
telah berupaya menanamkan nilai-nilai pendidikan yang baik kepada Ismail.
Jangankan
mengajak untuk kebaikan yang menguntungkan secara lahiriah, ketika diajak
untuk mengorbankan nyawa sekali pun, sang anak rela tanpa protes. Kita tentu
bertanya, upaya apa yang dilakukan oleh Ibrahim sehingga anaknya setaat itu?
Semua
itu tidak terlepas dari doa, usaha, dan keteladanan yang dilakukan oleh Nabi
Ibarahim. Alquran mengabadikan doa Nabi Ibrahim,rabbi habli minashshalihin, Wahai Tuhanku,
anugerahkan kepadaku anak yang shaleh (Qs. ash-Shaffat/37: 100).
Hal
ini mengajarkan kepada kita agar senantiasa berdoa untuk memperoleh anak yang
shaleh. Anak adalah amanah. Ia bisa menjadi fitnah (al-Anfal/8: 28). Karena
itu, berdoa dan berlindunglah kepada Allah agar kita diberi kekuatan dan
kemampuan untuk mendidik anak yang shaleh sehingga ia tidak menjadi fitnah
yang merugikan.
Doa
itu juga diiringi dengan usaha. Usaha itu bisa berupa upaya yang ditempuh Nabi
Ibrahim dalam memilih jodoh. Siti Hajar, meskipun berkulit hitam, berstatus
budak, tetapi imannya teguh, akhlaknya mulia, taat beragama dan patuh pada
suaminya.
Usaha
seperti ini juga diajarkan dalam Alquran. Allah menegaskan bahwa seorang budak
yang beriman jauh lebih berharga dari pada seseorang yang musyrik, meskipun
menarik hati (Qs. al-Baqarah/2: 221)
Karena
itu, jika menginginkan anak yang shaleh, mulailah dari memilih jodoh. Jika
istri yang dipilih biasa mengabaikan perintah Allah, bagaimana mungkin ia akan
mampu mendidik anak yang shaleh. Bukankah ibu merupakan guru pertama bagi
seorang anak?
Nabi
Ibrahim juga menjadi teladan bagi anaknya. Ibrahim membawa Ismail untuk
membangun Ka’bah lalu berdiam di sekitarnya (Qs. Ibrahim/14: 37). Nabi Ibrahim
memberi contoh secara langsung bagaimana cara beribadah kepada Allah, bukan
sekedar nasihat.
Profil
Nabi Ismail sebagai anak shaleh. Nabi Ismail tidak membantah perintah ayahnya.
Malah Ismail menguatkan hati ayahnya agar tabah menjalankan perintah tersebut.
Ia berkata: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya
Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Kesalahen
Ismail sejatinya menjadi inspirasi dan tauladan bagi generasi muda saat ini.
Seorang pemuda harus siap berkorban apa saja untuk berbakti kepada orang tua.
Waktu, pikiran, tenaga, bahkan jiwanya sekali pun ia korbankan demi baktinya
pada orang tua sehingga mereka bangga memiliki anak seperti dia. Namun
kepatuhan pada orang tua itu tidak boleh bertentangan dengan perintah Allah.
Seorang
anak harus bangga melihat orang tuanya taat kepada Allah, meskipun harus
mengorbankan hal-hal yang dicintainya di dunia ini. Karena itu, seorang anak
perlu pula memberi dukungan dan semangat kepada orang tuanya agar tetap
konsisten menegakkan kebenaran.
Kepatuhan,
ketaatan, pengorbanan, dan keteladanan merupakan kata kunci dari keberhasilan
keluarga Nabi Ibrahim as. Karena itu, Allah menganugerahkan kebahagiaan pada
keluarganya. Bahkan melalui istri pertama, Siti Sarah, juga melahirkan Ishaq
yang kelak juga menjadi nabi.
Semua
itu pun disyukuri oleh Nabi Ibrahim a.s. “Segala puji bagi Allah yang telah
menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq”. Namun rasa syukur
itu tetap diringi dengan kepasrahan sepenuh hati kepada Allah seraya berdoa:
Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan
shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku (Ibrahim/14: 39-40).
Sejatinya,
pelaksanaan Hari Raya Idul Adha/Hari Raya Kurban di tahun ini, menjadi momentum
bagi kita untuk mengevaluasi keluarga kita masing-masing. Kisah teladan Nabi
Ibrahim hendaknya menjadi inspirasi dan motivasi bagi kita untuk membentuk
keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah, dalam ridha Allah SWT. Amin. Wallahu
a'lam
Komentar
Posting Komentar